Neo-Nomadisme*

Meminjam istilah Goenawan Mohamad untuk menyebut orang-orang (zaman sekarang) yang berpindah tempat dari satu lokasi ke lokasi lain, aku mencoba memaknai kembali istilah neo-nomadisme. Istilah itu sendiri kuketahui dari sebuah Catatan Pinggir berjudul “Kamar” yang kubaca pada tahun 2011. Catatan itu ditulis pada tahun 2009 dan diterbitkan dalam sebuah majalah. Hingga kini tahun 2015, catatan itu tampaknya masih saja relevan, bahkan makin terasa sekali maknanya. Mungkin ini tak akan lekang hingga bertahun-tahun kemudian, entah kapan.

Berawal dari suatu malam ketika aku akan berbelanja kebutuhan bersama Ney, aku berjumpa dengan sepasang manusia yang berprofesi sebagai pengumpul sampah plastik. Gerimis sudah reda, jalanan basah, dan mereka tampak sedang beristirahat duduk di gerbang komplek. Sang lelaki membawa sekarung besar sampah yang dipanggul di pundaknya, sementara sang perempuan menaiki sepeda motor dengan berkarung-karung sampah dikaitkan di kanan dan kiri kendaraannya. Aku mendengar lelaki itu berkata ketika melewati mereka, “Mau berangkat sekarang?” Tak lama, kuperhatikan, keduanya pun bergegas diri dan pergi meninggalkan gerbang komplek itu.

Rasa yang tidak biasa hadir kepadaku usai menyaksikan mereka. Sulit sekali digambarkan, namun ini bukan iba. Aku tidak kasihan kepada keduanya, aku justru merasa bahwa mereka seperti tengah menikmati aktivitas itu. Kubayangkan bahwa mereka telah berjalan seharian ini mengumpulkan sampah-sampah plastik. Mereka menyusuri trotoar, mengaduk-aduk bak sampah, lalu mereka akan pulang malam itu, namun beristirahat dulu di gerbang komplek sebelum kembali menyusuri jalan untuk pulang dan bersiap menghadapi perjalanan yang sama keesokan harinya. Aku bahkan tak mengira bahwa mereka memedulikan sebuah rumah untuk pulang—yang nyaman, ideal, ada atap genting, tembok bata, berkasur, berkamar mandi, berdapur, ada garasi, taman, dan fasilitas lainnya—karena tampaknya yang penting bagi mereka bukanlah itu, melainkan sebuah perjalanan itu sendiri, mengumpulkan sampah-sampah plastik. Tempat istirahat bagi mereka barangkali tak harus rumah dengan definisi yang disepakati orang-orang zaman sekarang; cukup sebuah gerbang komplek, misalnya, atau yang lebih privasi, seperti kolong jembatan dan di bawah pohon rindang sepanjang trotoar jalan. 

Namun, tentu saja, aku tak tahu di mana mereka tinggal. Bisa jadi mereka tinggal di rumah yang jauh lebih mewah dari rumah yang kutempati sekarang. Siapa peduli? Aku tak hendak memikirkan rumah mereka. Aku hanya menyadari bahwa malam itu aku seperti diperlihatkan pada sebuah keadaan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Terlepas dari persoalan sosial-ekonomi, aku melihat bahwa yang terpenting bagi manusia tampaknya adalah perjalanan itu sendiri yang di dalamnya sudah pasti terjadi suatu perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Mohamad menyebutnya dalam catatan tersebut,
“Kita mengalami, dan menyaksikan, sejenis neo-nomadisme: orang berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain; “rumah” bukanlah faktor penting dalam stabilitas.”

***

Tempat telah jadi komoditi. Adalah persoalan lain jika kita mengaitkan fenomena neo-nomadisme ini dengan pembicaraan tentang pasar. Bukan apa, sebabnya hal itu sudah lumrah. Pembahasan tentang kapitalisme tak akan membawa manusia pada pemahaman baru apa pun. Sudah, titik, mentok sampai di kesimpulan bahwa kita semua adalah korban dari kehidupan dunia yang sudah diorganisasi ini. Sulit untuk melepaskan diri dari kenyataan itu. Tapi, lihatlah, dengan tidak menafikan nalar yang dianugrahkan kepada manusia, kita tetap bisa berpikir, berimajinasi, berbuat dengan cara pandang baru yang lebih out of the box; bahwa sesungguhnya tak ada satu pun manusia di dunia ini yang bisa menguasai manusia lainnya.

Kita adalah makhluk bebas dan merdeka. Nenek moyang kita telah membuktikan itu. Manusia purba pada Zaman Palaeolitikum dan Mezolitikum hidup dengan cara nomaden karena melakukan kegiatan berburu untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mereka tinggal di gua-gua, sepanjang aliran sungai, tepi pantai, atau ceruk pegunungan. Pada Zaman Neolitikum yang lebih berkembang, mereka bertahan hidup dengan bercocok tanam dan beternak hewan. Mereka mulai menetap dengan membangun rumah-rumah dari kayu, tulang, dan kulit hewan. Meskipun begitu, jika lahan untuk bercocok tanam sudah tidak subur atau rumah rusak, mereka bisa berpindah ke tempat lainnya untuk menetap dan mempertahankan hidup. Karena itu, pada praktiknya, keadaan berpindah-pindah tempat dalam kehidupan manusia adalah sesuatu yang sifatnya identik. 
"Orang hidup dari rumah kontrakan satu ke rumah kontrakan lain. Orang tak lagi mengenal tempat sebagai dunung, sebuah kata Jawa yang bukan saja menunjukkan sebuah situs fisik, tetapi juga afeksi, sentuhan perasaan yang positif, ruang yang pas untukku. Tempat telah jadi komoditi."

Tak ada bedanya manusia modern dengan manusia purba, keduanya sama berpindah tempat. Tujuannya pun sama, yaitu untuk kebertahanan hidup, seperti memenuhi kebutuhan pangan, mencari tempat aman, melindungi diri dari fenomena alam. Namun, beda zaman beda tantangan. Kalau zaman prasejarah ancaman manusia adalah hewan-hewan liar dan situasi alam yang tidak stabil, sedangkan ancaman manusia zaman modern bisa jadi justru lebih kompleks. Manusia zaman sekarang tidak hanya berhadapan dengan sesuatu yang asalnya dari alam, seperti sesama manusia, hewan buas, atau iklim dan cuaca, tapi mereka juga berhadapan dengan sistem yang membentuk peradaban modern. Hal terakhir inilah yang sangat kuat yang bahkan seolah mengakar dan merupakan bagian dari kehidupan manusia alaminya.

Sistem telah membelenggu hak hidup manusia. Mereka tidak lagi bisa sembarang membangun rumah mereka sendiri dengan proses yang dikatakan Mohamad dalam catatannya, seperti ketika tikus tanah membuat ruang hidupnya dengan membuat liang yang cocok; mungkin juga sama seperti ketika para manusia purba berpindah tempat dengan membangun rumah dan lahan untuk bercocok tanam yang tepat. Manusia modern tak bisa begitu. Para nomad baru tak membangun liangnya; ia masuk ke sebuah geografi yang sudah disiapkan untuk siapa saja. Di sana, ia hanya seorang tamu.

Properti menjadi aset bisnis yang menjanjikan. Pembangunan perumahan tumbuh subur menggantikan tanaman pangan di lahan-lahan pertanian. Di pelosok suatu wilayah, permukiman dibangun untuk ditempati oleh siapa pun yang mampu mengkredit ke bank selama lebih dari satu dekade. "Penduduk kota-kota besar tinggal di dalam kotak-kotak yang dipasang-susun," begitu yang ditulis Gaston Bachelard, filosofis Perancis, sebagaimana yang dicatat Mohamad. Manusia modern benar berpindah tempat: mengontrak, lalu membayar sewa.

Di sisi lain, rumah cluster yang telah dibangun dan berstatus ready stock, namun belum laku oleh pengkredit, dibiarkan kosong untuk diisi makhluk gaib selang 40 hari kemudian. Banyak kutemukan yang seperti itu di balik gerbang komplek tempat sepasang manusia pengumpul sampah plastik duduk beristirahat. Ingin rasanya kugiring mereka ke rumah kosong itu agar tak luntang-lantung di jalanan dan bisa beristirahat dengan leluasa di sana. Kalau perlu ajak saudara mereka, rekan-rekan senasib, para tunawisma yang lain, para gelandangan. Apalah bedanya, toh, kita semua ini adalah tamu?
***

"Neo-nomadisme itu juga lahir dari jarak: di Jakarta, rumah dan tempat kerja sering kali begitu jauh, lalu lintas begitu padat, hingga lebih lama orang hidup di jalanan ketimbang di kamarnya sendiri. Ia akan berangkat pukul enam pagi, sampai di rumah kembali pukul tujuh malam, untuk kemudian duduk menonton televisi tentang dunia jauh, sebelum tidur, mungkin mimpi. Dan pada pukul lima..."
Aku bahkan berangkat kerja lebih pagi dari itu--tapi tidak pernah menonton televisi sepulangnya. Hidupku adalah di luar, di perjalanan. Tapi, bukankah begitu hakikatnya kehidupan manusia? Kita berpindah dari satu tempat ke tempat lain karena tempat apa pun pada akhirnya hanya sebuah ruang transit. Kamar apartemen, kos-kosan, vila, rumah hanyalah kemah dalam hidup yang tak bisa mandeg

Bagi sebagian manusia, rumah menjadi abstrak definisinya. Mungkin ia tak lagi sebuah bangunan beratap genting, tembok bata, berkasur, berkamar mandi, berdapur, ada garasi, taman, dan fasilitas lainnya. Ia semata dimensi yang jauh dan begitu dirindukan: rumah adalah tujuan, akhir sebuah perjalanan, tempat paling semestinya untuk berpulang, beristirahat dengan tenang. Tetapi, Mohamad memberi alternatif lain untuk menjelaskan bahwa seorang nomad tak pernah sempurna sebagai seorang nomad. Kita boleh membangun sebuah "rumah" yang bisa kita tempati dengan betah. 
"Ada ruang, sebagiannya tersembunyi dalam hati, yang tak hendak dan tak bisa diperjual-belikan: sebuah pojok taman, sebuah sudut kota yang menyimpan kenangan, sebuah pasar yang menambat hati, sebuah kedai, sebuah stasiun bus, sebuah tempat pertemuan..."
Aku juga menemukan satu dari alternatif yang diberikan itu--lebih homey dari sebuah rumah. Dan aku menyebutnya ruang yang pas untukku, sambil terus berjalan, namun tak menyebut diri tunawisma--selain karena memiliki nomor HP dan alamat e-mail


*Istilah yang diambil dari Catatan Pinggir Goenawan Mohamad berjudul "Kamar".
Gambar dari sini.

0 comments: